Survivorship Bias
Kesuksesan menjadi salah satu topik yang paling menjual untuk dibicarakan di media sosial sekarang. Coba saja lihat beberapa waktu lalu dan mungkin sampe sekarang topik Crazy Rich menjadi topik yang trending baik di instagram, tiktok ataupun medsos lainnya.
Beberapa channel youtube juga muncul untuk menunjukkan mereka yang sukses dari berbagai macam bisnis dan usaha.
Tidak ada yang salah dengan ini, karena bisa menjadi sumber inspirasi untuk mereka yang melihat/menonton.
Tapi di sisi lain, konsumsi konten seperti ini dapat menciptakan sebuah kebiasan dalam pola pemikiran kita. Dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, Rolf Dobelli menyebutnya sebagai Survivorship Bias.
Survivorship Bias
Survivorship Bias adalah suatu kebiasan dalam pola pikir dimana kita “overestimate” dalam melihat kesempatan untuk sukses dari hal yang kita hadapi.
Saat kita mempunyai ide tentang startup, banyak yang sudah langsung membayangkan atau berekspektasi startup yang akan dibangunnya akan sesukses Tokopedia, Gojek atau Traveloka. Padahal membangun startup bukanlah perkara mudah. Hitung saja, berapa persentase startup yang mampu mencapai level Unicorn jika dibandingkan total startup di Indonesia? Ada banyak sekali yang gagal di tahun pertama, kedua atau tetap hidup tapi sekedar menjadi startup medioker di kelas menengah.
Dalam dunia Product Management, overestimate akan result dari fitur-fitur yang akan dirilis juga bisa membuat Product Manager terjebak dalam survivorship bias. Karena belum tentu walaupun sebuah fitur sukses di aplikasi lain, didukung dengan data yang mumpuni dan user experience yang mudah akan memberikan hasil yang luar biasa.
Coba lihat Google+, adakah yang masih ingat?
Pernah ada suatu waktu dimana Google dengan user base yang begitu besar dan loyal disertai dukungan engineer dan designer top ingin membuat sebuah sosial media yang bisa bersaing dengan Twitter dan Facebook yang sedang berada di Top of Mind diwaktu itu. Apakah ada yang menyangka Google+ ternyata pada akhirnya menjadi salah satu product yang harus di cut oleh Google sendiri?
Survivorship bias juga bisa terjadi dialam investasi. Seberapa sering kita overestimate akan masa depan suatu saham, project P2P ataupun alternate coin?
Lalu bagaimana agar tidak terjebak dalam Survivorship Bias?
Kita harus mengimbangi konsumsi konten - konten yang contras dengan kesuksesan. Kita bisa belajar melihat startup yang gagal atau tutup ditengah jalan. Meneliti fitur - fitur yang performanya ternyata tidak sesuai ekspektasi ataupun belajar mengapa bisa suatu peluang investasi ternyata justru menjebak para investornya dalam kerugian. Hal ini akan membantu kita untuk menjernihkan pola berfikir.
Di dalam bukunya, Rolf Dobelli menyebut ini sebagai Visiting The Graves.